Senin, 09 Agustus 2010

Konflik Manajemen RS Korbankan Masyarakat Salam Serambi

Di tengah krisis dokter yang dihadapi RSU Cut Nyak Dhien (CND) Meulaboh, ternyata tiga dokter spesialis yang selama ini bertugas di rumah sakit tersebut, terhitung 18 Mei 2010 dipindahkan ke Puskesmas. Akibatnya, dua hari lalu, pelayanan di rumah sakit milik Pemkab Aceh Barat itu nyaris lumpuh.

Berdasarkan SK Bupati Aceh Barat yang dikeluarkan awal Mei 2010, ketiga dokter spesialis itu diperbantukan ke Puskesmas Peureumeu, Kecamatan Kaway XVI. Sedangkan tugas pokok, termasuk gaji masih tetap di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh. Inilah yang juga memunculkan keheranan beberapa kalangan, termasuk para dokter yang dicopot itu.

Ketiga dokter spesialis yang tidak diizinkan lagi bertugas di RSUD Cut Nyak Dhien itu adalah spesialis anak, spesialis penyakit dalam, dan spesialis kandungan. Kita memang tak tahu bagaimana duduk persoalan dalam kasus itu. Tapi, kita dapat merasakan dua hal. Pertama, memang ada konflik antara manajemen rumah sakit dengan ketiga dokter spesialis tadi. Kedua, akibat konflik itu publik atau masyarakat sudah jelas menjadi pihak yang sangat dirugikan dan bahkan telah menjadi korban.

Keluhan masyarakat selama ini terhadap rumah sakit di daerah adalah soal ketiadaan tenaga dokter spesialis. Kalaupun ada tapi tidak tetap. Dokter-dokter spessialis yang bertugas di rumah sakit daerah, apalagi daerah terpencil, umumnya tidak mau menetap meski dibayar mahal.

Mantan Menkes Siti Fadhilah Supari pernah mengatakan, “Memang sangat sulit untuk mengirim dokter spesialis ke daerah. Menurut saya, sebaiknya semua yang dididik spesialis diberikan ketentuan bahwa setelah lulus harus PTT satu tahun di daerah terpencil, kemudian selesai dan berganti-ganti terus. Dengan cara ini, saya kira daerah terpencil akan dapat di-cover. Beberapa tahun yang lalu, ada suatu ketentuan untuk meningkatkan tenaga spesialis ini, dilaksanakan pendidikan tenaga dokter spesialis berbasis kompetensi di rumah sakit daerah yang belum tersedia fasilitas pendidikan fakultas kedokteran. Jadi seperti dokter yang magang di rumah sakit, kemudian diuji oleh universitas yang terdekat. Pola pendidikan seperti ini dimulai di Provinsi Aceh, NTT, dan Maluku.”

Tapi persoalannya ternyata tak sesederhana itu, satu hasil survei dua yahun lalu menemukan kenyataan buruk. Yakni, lebih dari 50 persen dokter kurang kompeten. Meskipun sudah mempunyai sertifikat Continuing Medical Education (CME), belum tentu dia dokter yang baik. Banyak fakultas kedokteran yang didirikan hanya demi uang. Ini sangat berbahaya. Celakanya lagi, perguruan tinggi negeri (PTN) ikut-ikutan. Yang tidak punya kompetensi tapi punya uang diterima jadi mahasiswa. Sebaliknya yang punya kompetensi tapi tidak punya uang tidak diterima.

Kembali ke soal ketiadaan dokter spesialis. Kita melihatnya, dokter spesialis itu bukan langka, tapi distribusinya yang tak merata. Mereka cenderung menumpuk di kota besar saja sehingga daerah terpencil kekurangan dokter. Karena kondisi demikian, mestinya para pemerintahan kabupaten/kota, berbaik-baiklah dengan para dokter spesialis yang sudah betah mengabdi di daerah itu. Bukan malah berkonflik dengan dokter-dokter itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar