Charles Saerang, Presiden Direktur PT Nyonya Meneer
Penyelamat Nyonya Meneer dari Kehancuran Akibat Konflik Keluarga
Sempat mengalami konflik dalam tubuh perusahaan keluarga yang dipimpinnya, kini Charles justru mampu membawa Nyonya Meneer pada posisi puncak. Tak hanya itu saja, membawa jamu menjadi kebanggaan milik bangsa menjadi salah satu obsesinya. Lalu seperti apa perjalanan hidup dan karir generasi ketiga sekaligus cucu Nyonya Meneer tersebut?
Jamu memang menjadi sebuah fenomena tersendiri di tanah air. Sebagai obat tradisional warisan nenek moyang, jamu memegang peranan penting dalam budaya masyarakat Indonesia. Namun, beredarnya jamu palsu dan jamu kimia di pasaran tentu banyak memberikan dampak negatif terhadap produk jamu-jamu tradisional yang dihasilkan oleh beberapa perusahaan jamu tanah air, termasuk salah satunya adalah PT Nyonya Meneer. Permasalahan tersebut mungkin hanya menjadi salah satu halangan bagi perusahaan yang berdiri sejak tahun 1919 tersebut.
Di masa lampau sendiri, PT Nyonya Meneer sempat mendapatkan masalah yang bertubi-tubi menghampirinya. Di saat masalah yang bersumber dari perpecahan antar anggota keluarga terjadi, muncullah sosok yang dapat dibilang sebagai penyelamat bagi kelangsungan perusahaan jamu keluarga itu. Dialah Charles Saerang yang merupakan cucu dari Nyonya Meneer yang kini menjadi orang pertama di perusahaan.
Kamis (22/8) siang, Realita memperoleh kesempatan berbincang-bincang dengan Charles Saerang. Tepat di lantai paling atas salah satu gedung perkantoran di jalan Sudirman, Jakarta, sebuah klub eksekutif berada. Ketika berada di lantai tersebut, nampak beberapa orang pria tengah berjalan sembari bercengkerama. Penampilan mereka sangatlah elegan. Terlihat dari pakaian jas yang dipadu dengan dasi yang melingkar di lehernya. Di salah satu ruangan yang telah disediakan, pria bertubuh tinggi besar sudah berada di dalam ruangan. Seperti halnya para eksekutif lainnya yang menjadi pelanggan tetap di klub eksekutif tersebut, ia juga terlihat sangatlah elegan.
Sebagai seorang eksekutif di perusahaannya, Charles Saerang memang harus bersikap elegan dan rapi dalam setiap kegiatan yang dilakoninya. Meski begitu, Charles justru lebih bersikap santai ketika berbincang-bincang dengan Realita. Sesekali gelak tawa dan senyum Charles menghiasi perbincangan santainya. Ia terlihat sangat antusias membagi kisah hidup dan karirnya dalam menjalankan perusahaan keluarga yang dipimpinnya saat ini.
Introvert dan Pemalu. Charles terlahir dari pasangan (alm.) Hans Ramana dan (alm.) Vera Saerang pada 20 Februari 1952. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Berbeda halnya dengan Nyonya Meneer yang dilahirkan di kota Sidoarjo, Charles justru dilahirkan di kota Semarang, Jawa Tengah. Ia dibesarkan dengan segala macam bentuk proteksi dari sang orangtua. Wajar memang, mengingat keluarganya yang berasal dari keluarga yang berada. Tak pelak, didikan dari orang tua tersebut membentuk sisi kepribadian Charles di waktu kecil. “Waktu kecil, saya termasuk anak yang introvert,” kenang pemilik nama lengkap Charles Ong Saerang ini.
Saat kanak-kanak, Charles lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah saja. Ia mengaku sangat dibatasi untuk bermain di luar lingkungan rumah. “Saya lebih banyak bermain dengan saudara kandung yang kebanyakan perempuan,” aku Charles. Tak heran, ketika masih kecil, ia tidak terbiasa bertemu dengan orang asing. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di rumah dan di sekolah. Untuk berangkat ke sekolah pun, Charles harus diantar-jemput oleh salah satu pegawai orang tuanya. Ia mengenyam pendidikan sekolah dasar di kota kelahirannya, Semarang. Namun, ketika ia menginjak kelas 6 SD, Charles harus mengikuti keinginan orang tua yang pindah ke Jakarta. Ia pun melanjutkan pendidikannya di Jakarta. Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke SMP 1 KAPI, Jakarta.
Belajar Mandiri. Sebagai anak daerah yang baru merasakan suasana kota Jakarta, Charles merasa sangat terkejut dengan kondisi Jakarta waktu itu. “Saya lihat banyak kekerasan di sini (Jakarta, red) waktu itu,” ungkap pria yang memiliki hobi mengangkat barbel ini. Selepas menyelesaikan pendidikan SMP-nya, Charles mengambil keputusan yang cukup berani dengan meminta kepada kedua orang tuanya untuk bersekolah di luar negeri tepatnya di London Academy, Inggris. Tentu keputusan tersebut sangatlah mengejutkan mengingat sifat Charles yang sangat introvert dan tidak mudah bergaul dengan orang asing. “Saya memilih bersekolah di luar negeri karena saya ingin mandiri,” ungkap Charles. Meski awalnya kaget dengan keputusan sang anak, akhirnya kedua orang tua Charles mengijinkannya untuk menuntut ilmu di negeri orang, tepatnya di London, Inggris.
Di London, Charles mengenyam pendidikan SMA. Ia sendiri menghabiskan waktu 6 tahun di Inggris. Setelah itu, Charles melanjutkan kuliahnya di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Awalnya, Charles mendaftar untuk kuliah di bidang kedokteran. “Saya nggak diterima di kedokteran,” kenang Charles. Alhasil, ia pun memutuskan untuk mengambil bidang business science di Miami University, Ohio. Selepas lulus kuliah pada tahun 1976, ia kemudian melanjutkan kembali untuk meraih gelar doctor philosophy of marketing dari Kensington University, California.
Di saat-saat masih mengenyam pendidikan, Charles sebenarnya dituntut oleh kedua orang tuanya untuk membantu perusahaan keluarga warisan Nyonya Meneer. Pada saat masuk ke dalam tubuh perusahaan pun, Charles dituntut untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi, yakni perpecahan antar anggota keluarga. Dengan berbekal pendidikan yang sudah dipelajarinya di negeri seberang, Charles pun berupaya untuk membenahi kekacauan yang terjadi di dalam perusahaan. Tak hanya itu saja, kematian sang ayah pada tahun 1976 juga mendorongnya untuk terjun langsung di dalam perusahaan keluarga.
Dua Kali Konflik. Terjunnya Charles di perusahaan keluarga tidaklah disambut dengan kondisi perusahaan yang maju, melainkan dengan kondisi perusahaan yang dirundung masalah. Masalah yang bersumber dari perpecahan antar anggota keluarga mau tak mau membuatnya memutar otak untuk mencari solusi terbaik. Berbagai perubahan pun dilakukan oleh Charles. Di antaranya adalah dengan meneliti masalah apa saja yang tengah diderita oleh perusahaan yang didirikan di Semarang tersebut. Hatinya kembali tersentuh ketika sang pendiri perusahaan, Ny Meneer meninggal dunia pada 23 April 1978. Sepeninggalnya pendiri perusahaan, barulah kondisi perpecahan semakin menjadi-jadi. hal tersebut berdampak pada jatah keuntungan yang diterima Charles sebagai anak dari Hans Ramana, anak Ny Meneer. “Jatah keluarga saya memang kecil sekitar 23%,” kenang Charles. Meski begitu, ternyata ada beberapa pihak dari keluarga Ny Meneer lain yang berusaha untuk memotong jatah keuntungan yang seharusnya diterima Charles. Oleh karena itu, ia pun menuntut rasa keadilan dalam pembagian keuntungan tersebut.
Puncaknya, pada tahun 1980, Ny Meneer mengalami perpecahan hebat untuk kali pertama. “Perpecahan itu merupakan pukulan yang berat bagi kami,” ujar Charles. Pasalnya, kala itu perpecahan tersebut sempat menimbulkan anggota keluarga lain sedih dan putus asa. “Saya sedih melihat tante saya yang sempat menangis,” lanjutnya. Perpecahan ini dipicu oleh perebutan kekuasaan dan upaya-upaya untuk meningkatkan peranan di dalam mesin organisasi. Konflik tersebut berlangsung cukup panas, sehingga Sudomo, selaku menteri tenaga kerja waktu itu turun tangan untuk memecahkan permasalahan. Tak lebih dari setahun, konflik pun dapat terselesaikan dengan baik. Akhirnya, solusi yang diambil adalah dengan cara pelepasan saham oleh 2 anak nyonya Meneer beserta keluarga mereka, yakni Lucy Saerang dan Marie Kalalo.
Depresi Menghadapi Konflik. Cobaan tak hanya berhenti sampai di situ saja. Perpecahan kembali terjadi di era tahun 1990-an. Saat itu perpecahan terjadi lebih hebat ketimbang kejadian yang pertama. “Yang kedua itu mereka menginginkan penyelesaian secara hukum, bukan dalam konteks keluarga,” tutur Charles. Konflik terjadi karena adanya pertentangan antara keluarga Hans Pangemanan (anak Ny Meneer dari suami kedua) melawan keluarga Nonie Saerang yang bergabung dengan Charles Saerang. Konflik ini termasuk konflik yang cukup berkepanjangan dan paling melelahkan karena berlangsung dari tahun 1989-1994. Akibat konflik itu pula, Charles sempat tinggal di Amerika selama beberapa waktu karena adanya upaya pembunuhan terhadap dirinya. Konflik ini akhirnya dapat terselesaikan pula dengan mengambil solusi pelepasan saham oleh keluarga Hans Pangemanan. Selesai satu konflik, ternyata konflik lain timbul. Situasi dimana porsi saham 50:50 antara Nonie Saerang dan Charles Saerang justru menimbulkan masalah perpecahan berikutnya. Pada tahun 1995-2000, perpecahan tersebut berlangsung. Nonie Saerang harus melawan keponakannya sendiri, Charles Saerang. Konflik ini diwarnai dengan adanya pengrusakan nama baik di antara keduanya. “Saya dituduh menyebarkan aliran komunisme,” kenang pria yang ketika bersekolah di Inggris sering mendapatkan nilai F ini. Tak pelak, Charles pun sempat dihadapkan ke depan meja hijau atas tuduhan tersebut. Ia pun menyambut tantangan tersebut dengan meladeninya di jalur hukum. Proses peradilan yang sangat berkepanjangan sempat membuat Charles depresi terhadap masalah yang tak kunjung selesai.
Akhirnya titik terang pun datang juga, pihak keluarga besar Nonie Saerang memutuskan untuk mengalah dan memilih untuk melepaskan saham yang dimilikinya kepada keluarga Charles Saerang pada tanggal 27 Oktober 2000. Sejak saat itulah, Charles telah mampu memegang kendali penuh di dalam tubuh organisasi perusahaan yang kini omsetnya mencapai Rp 500 miliar ini. Namun saat ini Charles justru mendapatkan tantangan dan cobaan lainnya yang datang dari luar perusahaan. “Sekarang tantangannya jamu kimia yang banyak beredar,” ungkap Charles yang juga menjabat ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia ini.
Transisi Menuju Generasi Keempat. Tak hanya itu saja, tantangan dan cobaan yang dihadapi oleh Charles adalah mengangkat jamu sebagai salah satu budaya Indonesia di kancah internasional. “Nyonya Meneer itu bukan hanya milik saya, tapi milik bangsa Indonesia,” ujar Charles. Tak heran, kini Charles sangat getol untuk memasyarakatkan jamu baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai generasi ketiga Nyonya Meneer, Charles kerap bertemu para petinggi dan pejabat Negara hanya untuk mendapatkan bantuan dalam mengangkat pamor jamu di dunia internasional. Selain itu, Charles juga memiliki rencana untuk menjual saham-saham PT Nyonya Meneer ke pasar modal alias go public. “Kita sedang merencanakan bentuk go publicnya,” ujarnya singkat.
Untuk kehidupan pribadi, pernikahan Charles dengan Lindawaty Suryadinata (50) menghadirkan dua buah hati, yakni Vanessa Kalani (27) dan Claudia Alana (16). Charles sendiri hidup terpisah dengan istrinya yang kini tinggal di Malaysia. “Sebulan sekali, saya bertemu dengan istri,” aku Charles. Sedangkan anak pertamanya, Vanessa saat ini tengah menyelesaikan pendidikan di salah satu universitas di Amerika Serikat. “Saya sedang mempersiapkan anak pertama saya untuk menjadi generasi keempat Nyonya Meneer,” tutur Charles.
Rencananya, dua tahun mendatang, Vanessa akan langsung terjun penuh mengurusi perusahaan keluarga yang dibesarkan oleh sang ayah. Diakui Charles, saat ini pun Vanessa masih kembali ke tanah air setiap 6 bulan sekali untuk mempelajari sistem kerja di dalam perusahaan. “Kalau anak kedua masih lama, soalnya masih berumur 16 tahun,” ujar Charles. “Sekarang masih masa transisi,” lanjutnya. Untuk mempersiapkan generasi keempat tersebut, Charles mendidik kedua anaknya untuk dapat menjadi seorang pemimpin dalam perusahaan keluarga yang mampu membawa produk jamu sebagai milik bersama, tak hanya di lingkungan keluarga saja melainkan seluruh rakyat Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar