Kami adalah Para Pensiunan Pegawai Negeri Sipil yang diangkat
sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara yang memiliki nomor induk
pegawai secara nasional, pernah bertugas pada Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia, dan pernah ditugaskan di berbagai
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Saat ini kami
tergabung dalam Forum Lintas Angkatan Pensiunan Kemlu (FLAPK)
beranggotakan 200 orang. Meskipun FLAPK hanya berjumlah 200
orang, namun yang berhak mendapatkan gaji dalam negeri
jumlahnya jauh lebih banyak.
Selama ditempatkan/ditugaskan di Perwakilan RI di Luar Negeri,
kami menerima Tunjangan Penghidupan Luar Negeri (TPLN).
Sedangkan hak gaji pokoknya di dalam negeri yang menurut Undang
Undang Kepegawaian seharusnya tetap dibayarkan, namun oleh
Kemlu justru ditahan alias tidak dibayarkan.
Kebijakan tidak membayar hak gaji dalam negeri didasarkan pada
Surat Edaran Sekjen Kemlu Nomor: 015690 tertanggal 16 Oktober
1950, Perihal: Keuangan Perwakilan Perwakilan Republik Indonesia
di luar negeri, yang dalam pertimbangannya mengatakan
"menunggu keputusan yang definitif dan menyimpang dari peraturan
S.P./5/K.L, maka berhubung dengan sangat terbatasnya persediaan
deviezen", Jo III.c "gaji di Indonesia tidak diberikan".
Namun setelah keluar keputusan yang definitif, yaitu
diundangkannya Undang Undang No. 18 Tahun 1961 tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Kepegawaian, Undang Undang No. 8
Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Kepegawaian, Undang Undang
No. 43 Tahun 1999 Tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai
Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2013 Tentang
Tata Cara Pelaksanaan APBN, hak gaji pokok kami tetap tidak
dibayarkan oleh Kemlu.
Di lain pihak, Pegawai Negeri Sipil/ASN yang berasal dari Instansi
Teknis atau Pejabat Atase Teknis dan stafnya yang ditugaskan di
Perwakilan RI di Luar Negeri, selain menerima Tunjangan
Penghidupan Luar Negeri (TPLN), juga tetap menerima hak atas gaji
pokoknya di dalam negeri. Seluruh ASN diatur oleh undang undang
sama, namun kenyataannya hanya pejabat Kemlu yang sedang
ditugaskan di luar negeri, hak gaji pokoknya di dalam negeri tidak
dibayar oleh Kemlu. Dengan demikian telah terjadi adanya
diskriminasi.
Sebagai gambaran berapa lama hak gaji pokok di dalam negeri kami
tidak dibayar, sangat bervariasi. Dapat dicontohkan salah seorang
anggota FLAPK pernah mendapat tugas di KJRI San Francisco (54
bulan), KBRI Seoul (53 bulan), PTRI Geneve (49 bulan), KJRI
Hongkong (54 bulan), total penugasan di luar negeri 210 bulan atau
sekitar 17.5 tahun gaji pokoknya dalam negeri tidak dibayar.
gaji
Pegawai
yang
Kementerian Luar Negeri pernah mencoba menyelesaikan masalah
hak gaji dengan mengeluarkan kebijakan baru yang memberikan hak
pegawai
Negeri Sipil/ASN bagi
berangkat/ditugaskan ke Perwakilan RI di Luar Negeri terhitung
mulai tanggal 1 Januari 2013. Namun kebijakan tersebut tidak
menyelesaikan masalah karena tidak berlaku menyeluruh, sehingga
terlihat diskriminatif terhadap para PNS/ASN Kementerian Luar
Negeri yang pernah ditempatkan/ditugaskan di Perwakilan RI Luar
Negeri pada tahun-tahun sebelum 1 Januari 2013 yang umumnya
sudah pensiun tetap tidak menerima hak gaji pokoknya dalam negeri
yang menjadi haknya. Kami bahkan diminta ikhlas. Kebijakan inipun
jelas merupakan keputusan yang diskriminatif.
Sejak tahun 2018, kami telah berupaya secara perorangan maupun
berkelompok melakukan komunikasi
komunikasi secara tertulis kepada
Kementerian Luar Negeri, bahkan kami pernah berdiskusi dengan
Sekertaris Jenderal Kemlu, namun hasilnya tidak sesuai harapan.
Surat surat yang kirimkan bahkan tidak pernah dibalas.
Selanjutnya kami meminta bantuan Penasehat Hukum untuk
menyelesaikan permasalahan yang kamai perjuangkan. Setelah
dilakukan somasi oleh Penasehat hukum kami, pihak Kemlu
memberikan tanggapan tertulis yang pada intinya Kementerian Luar
Negeri beranggapan bahwa masalah gaji pokok di dalam negeri yang
ditahan/tidak dibayarkan selama kami ditugaskan di luar negeri,
dianggap "telah kadaluarsa" dengan merujuk kepada Peraturan
Pemerintah (PP) No 50 tahun 2018, pasal 76A.
Kami berpendapat bahwa Kementerian Luar Negeri
keliru menafsirkan pasal 76A PP No. 50 tahun 2018,, karena pasal tersebut
adalah mengenai tagihan dari "pihak ketiga" kepada negara
Sebagaimana diketahui
mengenai pengadaan barang dan jasa.
bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (vide butir
4), bahwa gaji adalah hak pegawai yang harus dibayarkan secara
otomatis oleh pemerintah kepada setiap PNS/ASN pada setiap awal
bulan tanpa perlu ditagih.
Kami pernah mengirim surat kepada Bapak Presiden sebanyak 2 kali,
demikian halnya Penasehat Hukum kami untuk menyampaikan
masalah ini. Namun sayang surat surat kami tersebut tidak pernah
mendapat tanggapan. Kami yakin surat surat tersebut tidak sampai
kepada Bapak Presiden.
Kami juga pernah mengadukan masalah ini kepada Menko Polhukam.
Pada mulanya alhamdulillah mendapat tanggapan positif. Kami
pernah diundang rapat untuk menggali permasalahan lebih detail.
Namun sayang seiring banyaknya kasus yang ditemukan dan
ditangani oleh Menko Polhukam, proses permasalahan kami mandeg
alias "masuk angin".
Salah satu tugas yang dibebankan kepada kami saat bertugas di luar
negeri adalah melindungi kepentingan Tenaga Kerja Indonesia di
luar negeri, termasuk hak gajinya. Sehingga menjadi ironis ketika
Kementerian Luar Negeri justru "merampas" hak gaji pokok
pegawainya dan tidak bermaksud menyelesaikannya.
Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai upah/gaji :"Bahwa
upah dan segala pembayaran yang timbul akibat hubungan kerja
adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih
secara sewenang wenang oleh siapapun, baik perseorangan maupun
melalui ketentuan perundang undangan".
Dengan tidak dibayarkannya hak gaji pokok pejabat Kemlu yang
sedang melaksanakan tugas, jelas merupakan perampasan hak milik
yang melanggar Undang Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Azasi Manusia, Pasal 36 (2) "Tidak seorangpun
boleh dirampas miliknya dengan sewenang wenang dan secara
melawan hukum".
Dalam sumpah jabatan para menteri, termasuk menteri luar negeri,
salah
satu
berbunyi mentaati
perundangan yang berlaku". Namun dengan kebijakan tidak
membayar gaji dalam negeri pegawai yang sedang melaksanakan
tugas negara, adalah merupakan tindakan pelanggaran atas
perundang-undangan yang berlaku sekaligus pelanggaran terhadap
sumpah jabatan dan pelanggaran HAM ringan yaitu diskriminasi dan
perampasan hak milik.
Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, pada tanggal 30 Juni 2023
suatu pernyataan yang
mengeluarkan
menggambarkan
keprihatinannya terhadap keadaan penegakkan hukum di Indonesia.
Beliau mengatakan "NO VIRAL NO JUSTICE". Pernyataan tersebut
cukup mewakili perjuangan kami, dimana pemerintah yang bersama
sama dengan parlemen sebagai lembaga yang membuat undang
undang, justru pemerintah sendiri yang melanggarnya. Pernyataan
Jaksa Agung inilah yang membawa kami pada suatu tindakan hari
ini, yaitu konperensi pers dengan harapan menjadi viral.
Meskipun FLAPK hanya beranggotakan 200 orang, namun pensiunan
dan pegawai Kemlu yang berhak atas gaji pokok yang tidak
dibayarkan oleh Kemlu jauh lebih berlipat banyaknya. Oleh karena
itu bagi kami perjuangan untuk memperoleh hak gaji pokok yang
tidak dibayarkan oleh Kemlu adalah merupakan perjuangan
kemanusiaan untuk memperoleh keadilan dan kesamaan hak di
dalam hukum.
Kami berharap Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko
Widodo dapat memberikan perhatian khusus, dan memberikan jalan
keluarnya sesuai dengan kewenangan yang melekat pada Presiden
selaku Lembaga
Lembaga Eksekutif Tertinggi, pemegang kekuasaan
pemerintahan yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN, guna
memerintahkan kepada Menteri menyelesaikan dengan tuntas
perihal pokok surat kami tersebut diatas, demi pemerintahan yang
bersih dan transparan menuju cita-cita Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar